Showing posts with label SEJARAH. Show all posts
Showing posts with label SEJARAH. Show all posts

Tuesday, June 2, 2015

Sejarah Kabupaten Dairi


Sejarah Kabupaten Dairi
A. Sebelum Penjajahan Belanda
Pemerintahan di Dairi telah ada jauh sebelum kedatangan penjajahan Belanda. Walaupun saat itu belum dikenal sebutan Wilayah/Daerah Otonomi, tetapi kehadiran sebuah pemerintahan pada zaman tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya pengakuan terhadap Raja-raja Adat. Pemerintahan masa itu dikendalikan oleh Raja Ekuten/Takal Aur/Kampung/Suak dan Pertaki sebagai raja-raja adat merangkap sebagai Kepala Pemerintahan.
Adapun struktur Pemerintahan masa itu diuraikan sebagai berikut :
  1. Raja Ekuten, sebagai pemimpin satu wilayah (suak) atau yang terdiri dari beberapa suku/kuta/kampong Raja Ekuten disebut juga Takal Aur, yang merupakan Kepala Negeri.
  2. Pertaki, sebagai pemimpin satu Kampung, setingkat dibawah Raja Ekuten.
  3. Sulang Silima, sebagai pembantu pertaki pada setiap kuta (Kampung), yang terdiri dari : 1) Perisang-isang; 2) Perekur-ekur; 3) Pertulan tengah; 4) Perpunca ndiadep; 5) Perbetekken.
Menurut berbagai literatur sejarah bahwa wilayah Dairi sangat luas dan pernah jaya dimasa lalu. Sesuai dengan Struktur Organisasi Pemerintahan tersebut di atas, maka wilayah Dairi dibagi atas 5 (lima) wilayah (suak/aur) yaitu :
  1. Suak/Aur SIMSIM, meliputi wilayah : Salak, Kerajaan, Siempat Rube, Sitellu Tali Urang Jehe, Sitellu Tali Urang Julu dan Manik.
  2. Suak/Aur PEGAGAN dan Kampung Karo, meliputi wilayah : Silalahi, Paropo, Tongging, Pegagan Jehe dan Tanah Pinem.
  3. Suak/Aur KEPPAS, meliputi wilayah : Sitellu Nempu, Silima Pungga-Pungga, Lae Luhung dan Parbuluan.
  4. Suak/Aur BOANG, meliputi wilayah : Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Belenggen, Gelombang Runding dan Singkil (saat ini Wilayah Aceh)
  5. Suak/Aur KLASEN, meliputi wilayah : Sienem koden, Manduamas dan Barus

B. Masa Penjajahan Belanda
Pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda, sejarah mencatat bahwa Raja Sisisngamangaraja XII semasa hidupnya cukup lama berjuang di Daerah Dairi, karena wilayah Bakkara dan wilayah Toba pada umumnya telah dibakar habis dan dikuasai oleh Belanda. Kondisi tersebut tidak memungkinkan lagi untuk bertahan dan meneruskan perjuangannya, sehingga beliau hijrah ke Dairi, beliau wafat pada tanggal 17 Juni 1907 di Ambalo Sienem Koden yang ditembak atas perintah komandan Batalion Marsuse Belanda, Kapten Cristofel.

Pada masa penjajahan Belanda yang terkenal dengan politik Devide Et Impera, maka nilai-nilai, pola dan struktur Pemerintahan di Dairi mengalami perubahan yang sangat cepat dengan mengacu pada system dan pembagian wilayah Kerajaan Belanda, maka Dairi saat ini ditetapkan pada suatu Onder Afdeling yang dipimpin seorang Cotroleur berkebangsaan Belanda dan dibantu oleh seorang Demang dari penduduk Pribumi/Bumi Putra. Kedua pejabat tersebut dinamai Controleur Der Dairi Landen dan Demang Der Dairi Landen.

Pemerintah Dairi landen adalah sebagian dari wilayah Pemerintahan Afdeling Batak Landen yang dipimpin Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Sistem ini berlaku sejak dimulainya perjuangan pahlawan Raja Sisingamangaraja XII dan berlaku juga sampai penyerahan Belanda atas penduduk Nippon (Jepang) pada tahun 1942.

Selama penjajahan Belanda inilah Daerah Dairi mengalami sangat banyak penyusutan wilayah, karena politik penjajahan kolonial Belanda yang membatasi serta menutup hubungan dengan wilayah-wilayah Dairi lainnya yaitu :

Tongging, menjadi wilayah Tanah Karo;Manduamas dan Barus, menjadi wilayah Tapanuli Tengah;Sienem Koden (Parlilitan), menjadi wilayah Tapanuli Utara;Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, Gelombang, Runding dan Singkil menjadi wilayah Aceh.
Setelah kolonial Belanda menguasai Daerah Dairi, maka untuk kelancaran Pemerintahan Hindia Belanda membagi Onder Afdeling Dairi menjadi 3 (tiga) Onder Districk, yaitu : 
1. Onder Districk Van Pakpak, meliputi 7 kenegerian yakni : 
1.1. Kenegerian Sitellu Nempu;
1.2. Kenegerian Siempat Nempu Hulu;
1.3. Kenegerian Siempat Nempu;
1.4. Kenegerian Silima Pungga-Pungga;
1.5. Kenegerian Pegagan Hulu;
1.6. Kenegerian Parbuluan;
1.7. Kenegerian Silalahi Paropo;

2. Onder Districk Van Simsim, meliputi 6 (enam) Kenegerian yakni :
2.1. Kenegerian Kerajaan;
2.2. Kenegerian Siempat Rube;
2.3. Kenegerian Mahala Majanggut;
2.4. Kenegerian Sitellu Tali Urang Jehe;
2.5. Kenegerian Salak;
2.6. Kenegerian Ulu Merah dan Salak Penanggalan;

3. Onder Districk Van Karo Kampung, meliputi 5 (lima) Kenegerian, yakni :
3.1. Kenegerian Lingga (Tigalingga);
3.2. Kenegerian Tanah Pinem;
3.3. Kenegerian Pegagan Hilir;
3.4. Kenegerian Juhar Kedupan Manik;
3.5. Kenegerian Lau Juhar.

C. Masa Pemerintahan Penduduk Jepang
Setelah jatuhnya Hindia Belanda atas pendudukan Dai Nippon, maka pemerintahan Belanda digantikan oleh Militerisme Jepang. Secara umum pemerintahan Bala Tentara Jepang membagi wilayah Indonesia dalam 3 bagian yaitu :
  1. Daerah yang meliputi Jawa, berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Jakarta;
  2. Daerah yang meliputi pulau Sumatera, berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang berkedudukan di Tebing Tinggi;
  3. Daerah ? daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makassar.

Pada masa itu pemerintahan Jepang di Dairi memerintah cukup kejam dengan menerapkan kerja paksa membuka jalan Sidikalang sepanjang lebih kurang 65 km, membayar upeti dan para pemuda dipaksa masuk Heiho dan Giugun untuk bertempur melawan Militer Sekutu.

Pada masa Pemerintahan Jepang pada dasarnya tidak terdapat perubahan prisipil dalam susunan Pemerintahan di Dairi. Karena tidak berubah susunan/struktur Pemerintahan di Dairi, tetapi mengganti jabatan lama, antara lain yaitu :
  1. Demang diganti menjadi GUNTYO
  2. Asisten Demang diganti menjadi HUKU GUNTY
  3. Kepala Negeri diganti menjadi BUN DANYTO
  4. Kepala Kampung diganti menjadi KUNTYO

Hal yang menarik dalam pengaturan tingkat Pemerintahan pada masa penjajahan Jepang adalah wilayah/Daerah Propinsi dihapus dan wilayah Keresidenan tingkatan yang tertinggi. Nama wilayah juga diganti dengan bahasa Jepang yaitu :

Keresidenan, diganti menjadi Syuu dan residen disebut Syuu-Co
Kabupaten, diganti menjadi Ken dan Bupati disebut Ken-Co
Kewedanaan, diganti menjadi Gun dan Wedana disebut Gun-Co
Kecamatan, diganti menjadi Son dan Camat disebut Son-Co

D. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah kemerdekaan diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, maka pasal 18 UUD 1945 menghendaki dibentuknya Undang-Undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, sehingga sebelum Undang-Undang tersebut dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan Daerah Republik Indonesia untuk sementara dibagi atas 8 (delapan) Propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai seorang Residen. Gubernur dan Residen dibantu ileh Komite Nasional Daerah.

1. Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Mengingat keadaan pada masa tersebut Belanda masih ingin menjajah kembali di Indonesia, sementara Undang-Undang belum dibentuk, maka dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pemberian kekauasaan legislative kepada Komite Nasional Indonesia Pusat, untuk mempertegas kedudukannya yang pada waktu dianggap sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Sehubungan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut maka kedudukan Komite Nasional Daerah pun perlu ditegaskan. Untuk keperluan inilah maka dikeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1945 tentang kedudukan Komite Nasional Daerah.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945, maka di Dairi dibentuk Komite Nasional Daerah untuk mengatur Pemerintah dalam mengisi Kemerdekaan dengan susunan sebagai berikut :

Ketua Umum : Jonathan Ompu Tording Sitohang
Ketua I : Djauli Manik
Ketua II : Noeh Hasibuan
Ketua III : Raja Elias Ujung
Sekretaris I : Tengku Lahuami
Sekretaris II : Gr. Gindo Muhammad Arifin
Bendahara I : Mula Batubara
Bendahara II : St. Stepanus Sianturi

Untuk melengkapi dan menampung aspirasi rakyat Dairi, dipulih pula anggota komisi sebanyak 35 orang yang tersebar di Daerah Dairi dan setiap Kewedanaan dibentuk pula pembantu Komite Nasional Daerah.

Tugas utama dari Komite Nasional Daerah adalah :
1. Mempersiapkan pemilihan Dewan Negeri;
2. Menyelesaikan Pemilihan Kepala Kampung;
3. Membentuk Pemerintahan dan Badan Perjuangan;

2. Masa Agresi Militer I
Pada masa Agresi Militer pertama yakni tanggal 6 Juli 1947 Belanda telah menguasai Sumatera Timur sehingga masyarakat Dairi yang berada di sana mengungsi kembali ke Dairi. Untuk menyelenggarakan Pemerintahan serta menghadapi perang melawan Agresi Belanda, maka Residen Tapanuli saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing, selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli, menetapkan Residen Tapanuli menjadi empat (4) Kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Dairi;
2. Kabupaten Toba Samosir;
3. Kabupaten Humbang;
4. Kabupaten Silindung.

Berdasarkan surat Residen Tapanuli Nomor 1256 tanggal 12 September 1947, maka ditetapkanlah PAULUS MANURUNG sebagai Kepala Daerah Tk. II pertama di Kabupaten Dairi yang berkedudukan di Sidikalang, terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1947 (catatan : hari bersejarah ini berdasarkan kesepakatan pemerintah dan masyarakat kelak dikukuhkan sebagai hari jadi Kabupaten Dairi, melalui Keputusan DPRD Kab. Dati II Dairi Nomor 4/K-DPRD/1997 tanggal 26 April 1977).

Kabupaten Dairi saat itu dibagi menjadi tiga (3) Kewedanaan yaitu :

1) Kewedanaan Sidikalang dipimpin oleh J.O.T Sitohang. Kewenangan Sidikalang dibagi atas 2 (dua) kecamatan, yaitu:
a. Kecamatan Sidikalang, dipimpin oleh Tahir Ujung
b. Kecamatan Sumbul, dipimpin oleh Mangaraja Lumbantobing

2) Kewedanaan Simsim, dipimpin oleh Raja Kisaran Massy Maha. Kewedanaan Simsim dibagi atas 2 (dua) kecamatan, yaitu :
a. Kecamatan Kerajaan, dipimpin oleh Raja Kisaran Massy Maha
b. Kecamatan Salak, dipimpin oleh Poli Karpus Panggabean

3) Kewedanaan Karo Kampung, dipimpin oleh Gading Barklomeus Pinem. Kewedanaan Karo Kampung, dibagi atas dua (2) kecamatan, yaitu :
a. Kecamatan Tigalingga, dipimpin oleh Ngapid Dapid Tarigan
b. Kecamatan Tanah Pinem, dipimpin oleh Johannes Pinem

3. Masa Agresi Militer II
Pada Masa Agresi Militer II Belanda, maka hampir seluruh wilayah Indonesia dapat dikuasai kembali oleh Belanda, demikian juga halnya di Dairi bahwa pada tanggal 23 Desember 1948 Belanda telah berhasil menduduki Kota Sidikalang dan Tigalingga, sehingga saat itu Kepala Daerah Tk. II Dairi, Paulus Manurung menyerah sedangkan sebagian besar masyarakat serta Pegawai Pemerintah mengungsi dari Kota Sidikalang untuk menghindari serangan Belanda.

Untuk menyusun strategi melawan Agresi Belanda, maka Mayor Selamat Ginting selaku komandan sektor III sub teritorium VII memanggil Gading Barklomeus Pinem dan J.S. Meliala ke Kampung Jandi Tanah Karo. Berdasarkan surat perintah komandan sektor III sub teritorian VII tanggal 11 Januari 1949 Nomor 2/PM/1949 diangkatlah G.B.Pinem sebagai Kepala Pemerintahan Militer di Dairi dan J.S Meliala sebagai Sekretaris.

Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer menghadapi Agresi Belanda maka Dairi dimekarkan dari 6 (enam) Kecamatan menjadi 12 (dua belas) Kecamatan.

Menjelang penyerahan (baca : pengakuan) kedaulatan wilayah Indonesia oleh Belanda, maka Pemerintah Militer di Dairi kembali ke Pemerintahan Sipil. Sebagai Kepala Pemerintahan Dairi adalah Raja Kisaran Massy Maha yang kemudian digantikan oleh Jonathan Ompu Tording Sitohang pada tanggal 10 Desember 1949. Pada masa tersebut Wilayah Kecamatan di Kabupaten diciutkan dari 12 (dua belas) Kecamatan menjadi 8 (delapan) Kecamatan, yaitu :
1. Kecamatan Sidikalang, ibukotanya Sidikalang dipimpin oleh Asisten Wedana, M. Bakkara;
2. Kecamatan Sumbul, ibukotanya Sumbul dipimpin oleh Wedana, Bonipasius Simangunsong;
3. Kecamatan Salak, ibukotanya Salak dipimpin oleh Asisten Wedana, Poli Karpus Panggabean;
4. Kecamatan Kerajaan, ibukotanya Sukaramai dipimpin oleh Asisten Wedana, Wal Mantas Habeahan;
5. Kecamatan Tiga Lingga, ibukotanya Tigalingga dipimpin oleh Asisten Wedana, Gayur Silaen;
6. Kecamatan Tanah Pinem, ibukotanya Kuta Buluh dipimpin oleh Asisten Wedana, Ngapid David Tarigan;
7. Kecamatan Silima Pungga-Pungga, ibukotanya Parongil dipimpin oleh Asisten Wedana Alex Sitorus;
8. Kecamatan Siempat Nempu, ibukotanya Buntu Raja dipimpin oleh Asisten Wedana, Urbanus Rajagukguk.

Setelah situasi dan kondisi kembali normal dari pergolakan Agresi Militer dengan adanya pengakuan kedaulatan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang pokok tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya telah mulai berlaku sejak diumumkan pada tanggal 1 April 1950, Kabupaten Dairi menjadi bagian dari wilayah hokum Kabupaten Tapanuli Utara.

Akan tetapi berhubung pemulihan Pemerintahan RI akan terjadi, K.M. Maha dipanggil Residen Tapanuli ke Sibolga dan tidak kembali lagi melaksanakan tugas sebagai Kepala Pemerintahan Militer Kabupaten Dairi, sehingga J.O.T. Sitohang diangkat menjadi Kepala Daerah Tk. II Dairi.
Perubahan struktru Pemerintahan setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia serta pemulihan keamanan bahwa Kecamatan tetap 8 (delapan), Kewedanaan dihapus, Kenegerian dan Kampung berjalan sebagaimana biasa.

4. Masa Pemberontakan PRRI
Kemudian peristiwa terjadi pada tahun 1958, karena timbulnya peristiwa pemberontakan PPRI yang mengakibatkan terputusnya hubungan antara Sidikalang (Dairi) dengan Tarutung sebagai ibukotanya Tapanuli Utara. Atas kondisi rawan tersebut, maka untuk menjaga kevakuman Pemerintahan oleh Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara dengan suratnya Nomor 656/UPS/1958 tanggal 28 Agustus 1958 mengambil kebijakan penting dalam Pemerintahan dengan menetapkan Daerah Dairi menjadi Wilayah Administratif yaitu ; Coordinator Schaap, yang secara langsung berurusan dengan Propinsi Sumatera Utara. Untuk mengisi Coordinator Schaap Pemerintahan di Dairi dihunjuk sebagai pimpinan adalah Nasib Nasution (Pati pada Kantor Gubernur Sumatera Utara), dan tidak begitu lama diangkatlah Djauli Manik sebagai Schaap Pemerintahan Dairi.

5. Perjuangan Pembentukan Daerah Otonom
Sejak tahun 1958, aspirasi masyarakat Dairi untuk memperjuangkan Daerahnya sebagai Kabupaten yang Otonom tetap tumbuh berkembang dengan mengutus pertama Tokoh masyarakat ke Jakarta untuk menyampaikan hasrat dimaksud agar disetujui. Aspirasi dan tuntutan tersebut terus berkembang sampai tahun 1964 dan saat itu tokoh masyarakat, Mengantar Dairi Solin, dkk diutus dan berangkat ke Jakarta untuk memperjuangkannya di Departemen Dalam Negeri. Akhirnya pertimbangan persetujuan pemerintah pusat c.q Menteri Dalam Negeri saat itu Bpk. Sanusi Hardjadinata yang pada tahun itu menyetujui Daerah Otonom Kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Utara.

Dalam situasi tersebut dikeluarkan Undang-Undang darurat yaitu Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor. 4 tahun 1964 tanggal 13 Pebruari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi dan pemilihan Bupati yang Defenitif, maka diangkatlah Rambio Muda Aritonang sebagai pejabat Bupati KDH Dairi setelah beliau selesai menyusun Anggota DPRD sebanyak 20 orang, dilanjutkan dengan pemilihan Bupati.

Saat itulah terpilih Mayor Raja Nembah Maha, yang memperoleh suara terbanyak menjadi Bupati KDH Tingkat II Dairi dan Wal Mantas Habeahan terpilih sebagai Sekretaris Daerah.

Kemudian oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor.15 Tahun 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi (sebagai Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1964).

Peresmian Kabupaten Daerah Tingkat II Otonom dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara oada tanggal 2 Mei 1964 bertempat di Gedung Nasional Sidikalang.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1964 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, yang berlaku surat mulai tanggal 1 Januari 1964, maka wilayah Kabupaten Dairi pada saat pembentukannya terdiri dari 8 (delapan) Kecamatan yaitu:
   1. Kecamatan Sidikalang, ibukotanya Sidikalang;
   2. Kecamatan Sumbul, ibukotanya Sumbul;
   3. Kecamatan Tigalingga, ibukotanya Tigalingga;
   4. Kecamatan Tanah Pinem, ibukotanya Kutabuluh;
   5. Kecamatan Salak, ibukotanya Salak;
   6. Kecamatan Kerajaan, ibukotanya Sukarame;
   7. Kecamatan Silima Pungga-Pungga, ibukotanya Parongil;
   8. Kecamatan Siempat Nempu, ibukotanya Bunturaja;

6. Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka telah ditetapkan dalam pasal 75 bahwa pembentukan, Nama, Batas, Sebutan, Ibukota Wilayah Administratif (termasuk Kecamatan) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Proses pembentukan Kecamatan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 tahun 1982 tanggal 3 Maret 1982 tentang Tata Cara Pembentukan Kecamatan dan Perwakilan Kecamatan maupun Surat Edaran Mendagri Nomor 138/2603/PUOD tanggal 7 Juli 1981, Perihal; Prosedur Penyelesaian masalah pembentukan Wilayah Kecamatan.

Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, meningkatkan kegiatan pembangunan dan semakin bertambahnya volume tugas Pemerintahan, maka wilayah Kabupaten Dairi dari 8 (delapan) Kecamatan agar dibentuk 4 (empat) Perwakilan Kecamatan baru sebagai pemekaran dari 4 (empat) Kecamatan yaitu:
  1. Perwakilan Kecamatan Parbuluan dengan ibukotanya Sigalingging, sebagai pemekaran dari Kecamatan Sidikalang;
  2. Perwakilan Kecamatan Pegagan Hilir dengan ibukotanya Tigabaru, sebagai pemekaran dari Kecamatan Tinga Lingga;
  3. Perwakilan Kecamatan Siempat Nempu Hulu dengan ibukotanya Silumboyah, sebagai pemekaran dari Kecamatan Siempat Nempu;
  4. Perwakilan Kecamatan Siempat Nempu Hilir dengan ibukotanya Sopo Butar, sebagai pemekaran dari Kecamatan Siempat Nempu.

Sesuai dengan Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 138/579/PUOD tanggal 7 Pebruari 1985 perihal Pembentukan Perwakilan Kecamatan di Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, maka ditetapkanlah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Nomor 138/1373/K/THN 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi. Peresmian 4 (empat) Perwakilan Kecamatan tersebut dilaksanakan tanggal 25 Mei 1985 oleh pembantu GUBSU Wilayah II yang dipusatkan di Sigalingging ibukota Perwakilan Kecamatan Parbuluan.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan di Wilayah Kecamatan/Perwakilan Kecamatan, maka dibentuklah 2 (dua) Kantor Pembantu Bupati KDH Tk. II Dairi berdasarkan Keputusan Dalam Negeri No. 136.22-310 tanggal 9 April 1985 tentang Pembentukan Wilayah kerja Pembantu Bupati KDH Tk.II Dairi dalam Wilayah Provinsi Dati I Sumatera Utara dan Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sumatera Utara Nomor 061.1 ? 2384 tentang pembentukan pembantu Bupati KDH Tk.II Dairi Wilayah I dan II.

Adapun pembagian Wilayah pembantu KDH Tk.II saat itu adalah sbb:
A. Wilayah I yang berpusat di Sumbul, terdiri dari :
1. Kecamatan Sidikalang
2. Kecamatan Sumbul;
3. Kecamatan Salak;
4. Kecamatan Kerajaan;
5. Perw. Kecamatan Parbuluan
B. Wilayah II yang berpusat di Tigalingga, terdiri dari :
1. Kecamatan Tigalingga;
2. Kecamatan Tanah Pinem;
3. Kecamatan Silima Pungga-Pungga;
4. Kecamatan Siempat Nempu;
5. Perw. Kecamatan Siempat Nempu Hulu;
6. Perw. Kecamatan Siempat Nempu Hilir;
7. Perw. Kecamatan Pegagan Hilir;

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1991 tanggal 7 September tahun 1991, maka perwakilan Kecamatan Parbuluan dipisahkan dan ditingkatkan statusnya menjadi Kecamatan yang Definitif dan diresmikan oleh Gubernur KDH Tk.I Sumatera Utara tanggal 30 Oktober 1991 di Sigalingging.

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1992, tanggal 13 Juli 1992, maka Perwakilan Kecamatan Siempat Nempu Hilir, Siempat Nempu Hulu dan Pegagan Hilir ditetapkan menjadi Kecamatan Defenitifd dan diresmikan secara terpusat oleh Gubernur KDH Tk.I Sumatera Utara pada tanggal 19 Oktober 1992 di Kecamatan Pagaran, Kabupaten Tapanuli Utara.

7. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sesuai ketentuan pasal 66 ayat (6) bahwa pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Dengan mempedomani Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 tentang pedoman Pembentukan Kecamatan, maka menyikapi Aspirasi masyarakat yang telah lama tumbuh dan berkembang di Kecamatan Silima Pungga-Pungga dan Kecamatan Salak dibentuklah 2 (dua) Kecamatan baru di Kabupaten Dairi yaitu Kecamatan Lae Parira, sebagai pemekaran dari Kecamatan Silima Pungga-Pungga dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, sebagai pemekaran dari Kecamatan Salak, kedua kecamatan ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2000 tentang pembentukan Kecamatan Lae Parira dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe.

Mengawali berlakunya Otonomi Daerah Kabupaten Dairi telah diresmikan secara definitive pembentukan 2 (dua) kecamatan baru tersebut yaitu Kecamatan Lae Parira yang diresmikan Bupati Dairi pada tanggal 13 Pebruari 2001 di Lae Parira (ibukota Kecamatan Lae Parira) dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, yang diresmikan pada tanggal 15 Pebruari 2001 di Sibande (ibukota Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe).

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 15 tahun 2002 tentang pembentukan Kecamatan Berampu dan Kecamatan Gunung Sitember, maka Bupati Dairi meresmikan Kecamatan Gunung Sitember, tanggal 11 Maret 2003 di desa Gunung Sitember (ibukota kecamatan). Dan meresmikan Kecamatan Berampu pada tanggal 10 April 2003 di Desa Berampu (ibukota Kecamatan).

8. Pembentukan Kabupaten Pakpak Bharat
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumut (lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 29, tambahan lembaran Negara Nomor 4272), maka telah ditetapkan wilayah Kabupaten Pakpak Bharat yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu ;
1. Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe
2. Kecamatan Kerajaan
3. Kecamatan Salak

Peresmian Kabupaten Pakpak Bharat serta pelantikan Pejabat Bupati Pakpak Bharat Drs. Tigor Solin, dilaksanakan pada hari Senin tanggal 28 Juli 2003 di Medan oleh Mendagri, Hari Sabarno.

Pada tanggal 1 Juni 2004 melalui Sidang Paripurna DPRD Kab. Dairi ditetapkanlah Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 6 tahun 2004 tentang pembentukan Kecamatan Silahisabungan sebagai hasil pemekaran dari Kecamatan Sumbul. Kecamatan Silahisabungan diresmikan Bupati Dairi (DR. M.P. Tumanggor) tanggal 14 Juli 2004 di Silalahi.

Tanggal 31 Agustus 2005 melalui Sidang Paripurna DPRD Kab. Dairi ditetapkan pada Perda Kab. Dairi No.6 tahun 2005 tentang Pembentukan Kel. Panji Dabutar hasil Pemekaran dari Kel. Batang Beruh, dan Perda No. 7 Tahun 2005 tentang Pembentukan Kec. Sitinjo yang merupakan hasil dari Pemekaran dari Kec. Sidikalang. Kecamatan Sitinjo diresmikan pada tanggal 14 September 2005 oleh Bupati Dairi (DR. M.P. Tumanggor).

Sampai bulan Desember 2009, wilayah Kabupaten Dairi terbagi atas : 15 Kecamatan, 8 kelurahan dan 161 desa.

1. Kecamatan Sidikalang, ibukotanya Sidikalang;
2. Kecamatan Sumbul, ibukotanya Sumbul;
3. Kecamatan Silima Pungga-Pungga, ibukotanya Parongil;
4. Kecamatan Siempat Nempu, ibukotanya Buntu Raja;
5. Kecamatan Tigalingga, ibukotanya Tigalingga;
6. Kecamatan Tanah Pinem, ibukotanya Kuta Buluh;
7. Kecamatan Parbuluan, ibukotanya Sigalingging;
8. Kecamatan Pegagan Hilir, ibukotanya Tigabaru;
9. Kecamatan Siempat Nempu Hulu, ibukotanya Silumboyah;
10. Kecamatan Siempat Nempu Hilir, ibukotanya Sopo Butar;
11. Kecamatan Lae Parira, ibukotanya Lae Parira;
12. Kecamatan Gunung Sitember, ibukotanya Gunung Sitember;
13. Kecamatan Berampu, ibukotanya Berampu;
14. Kecamatan Silahisabungan, ibukotanya Silalahi;
15. Kecamatan Sitinjo, ibukotanya Sitinjo.

Demikian Sejarah singkat Kabupaten Dairi semoga bermanfaat bagi pembaca semua . .

Monday, May 25, 2015

Mengenal Lebih Dekat Sosok Djamin Gintings

Mengenal Lebih Dekat Sosok Djamin Gintings
Djamin Gintings
Sumber:kolektorsejarah.wordpress.com

Mengenal Lebih Dekat Sosok Djamin Gintings - Djamin Gintings adalah anak petani yang dilahirkan tanggal 12 Januari 1921, di desa Suka yang berjarak kira-kira 86 km dari kota Medan, Sumatera Utara, dari pasangan Laufak Ginting Suka dan Tindang Beru Tarigan.

Karir militernya yang sangat panjang diawali dari masuknya beliau ke dalam bala tentara Pembela Tanah Air (PETA). Sempat dipenjarakan oleh tentara sekutu karena terlibat dalam pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selanjutnya beliau diamanahkan untuk memimpin berbagai satuan-satuan militer dalam menghadapi agresi Belanda beserta sekutu-sekutunya.

Salah satu peristiwa yang sangat menarik pada fase agresi ini, yang menunjukkan kejeniusan beliau di bidang militer adalah ketika beliau mengambil inisiatif tanpa sepengetahuan atasannya, Kol. Hidayat Komandan Divisi X, untuk menyerang secara mendadak pos terdepan Belanda di Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan Aceh (Tanah Alas) yaitu benteng Mardinding dan Lau Balang.

Padahal saat itu, sesuai dengan kesepakatan RI dan Belanda dalam perjanjian Renville (1947), semua wilayah Tanah Karo dianggap merupakan daerah pendudukan Belanda, sehingga semua pasukan TNI harus disingkirkan dari daerah itu.

Dalam pidato singkat penyerbuan ke Tanah Karo, Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV, terus terang menyatakan,

” …memang saya belum mendapat perintah dari Komandan Divisi … tetapi demi keselamatan Negara RI saya akan memikul tanggung jawab penuh untuk segera menyerang daaerah yang diduduki Belanda itu ...”

Inisiatif beliau itu dipicu oleh serangan udara yang dilakukan tentara Belanda ke arah basis pertahanan Djamin gintings sebelum beliau melakukan penyerangan benteng itu.

Kedua pos pertahanan Belanda itu memang tidak berhasil direbut, mengingat peralatan tempur Belanda yang jauh lebih kuat, namun serangan dadakan itu berhasil membuat pertahanan Belanda kucar-kacir, apalagi setelah penyerangan itu Djamin Gintings beserta pasukannya melaksanakan taktik gerilya.

Setelah fase Agresi Militer Belanda I dan II usai pada tahun 1950, kesetiaan dan ketegasan haluan politiknya untuk berdiri di belakang Pemerintahan Soekarno dan NKRI demi melawan kekuatan pemberontak yang marak terjadi pada masa itu, membuat Djamin Ginting diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang melingkupi seluruh wilayah Sumatera pada tahun 1957-1958.

Keberhasilannya dalam memimpin dan terlibat aktif dalam satuan-satuan militer untuk mengatasi berbagai pemberontakan, meningkatkan karir militernya menjadi Inspektur Jendral Angkatan Darat (1965-1968).

Seiring meredanya pemberontakan, beliaupun aktif dalam bidang politik dan sosial budaya. Menjadi anggota DPR dan sebagai Ketua Sekretariat Bersama Golongan Karya (1968 – 1972), mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum dan Sosial Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai salah satu inisiator dan pendirinya, terlibat aktif dalam mendirikan berbagai sekolah dan rumah sakit.

Pengalaman-pengalaman beliau yang luar biasa dalam bidang militer, politik dan sosial budaya, memuluskan karirnya menjadi seorang diplomat handal, dengan duduk sebagai Ketua Diskusi Luar Negeri (1968-1972), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Canada (1972-1974).

Di ibukota Negara Canada, Ottawa, pada tanggal 23 Oktober 1974, Letjen Djamin Gintings meninggal dunia, meninggalkan segudang kisah-kisah yang menginspirasi generasi-generasi setelahnya. Beliau dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Satu hal lagi yang sangat menarik dari beliau adalah kegiatan menulis buku harian (diari) yang dilakukannya, suatu kegiatan yang relatif jarang ada di jamannya. Berdasarkan diarinya tersebut (gambar), beliau sempat membuat buku berjudul “Bukit Kadir” pada tahun 1964, mengenai salah satu kisah pertempuran yang pernah dilaluinya.

Sedangkan buku keduanya “Titi Bambu” yang tidak sempat diselesaikannya, disempurnakan dan diterbitkan keluarganya pada tahun 1979. Sayangnya, kedua buku itu tidak dipublikasikan secara luas, hingga pada tahun 2009, keluarga yang dibantu oleh ahli sejarah menerbitkan buku “Dari titi Bambu ke Bukit Kadir.”
Atas jasa-jasanya yang signifikan bagi NKRI, berbagai komponen masyarakat mengusulkan Letjen Djamin Gintings menjadi Pahlawan Nasional. Secara de facto, sebenarnya beliau telah dianggap sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam rangka usaha untuk mengajukannya secara de jure oleh pemerintah, pada tanggal 3 Maret 2012 yang lalu, Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (Lemlit USU Medan), bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan (Pussis-Unimed), mengadakan Seminar Nasional Epos Kepahlawanan Letjen Djamin Gintings yang diadakan, di Balai Citra–Tiara Convention Hall, Medan.

Sebagai narasumber dalam seminar tersebut adalah Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Asvi Warman Adam, Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU Dr Suprayetno MHum, Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Unimed Dr phil Ichwan Azhari, Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumut JA Ferdinandus, Ketua DPD LVRI Sumut Kol H Rino Kusyanto dan wartawan senior Muhammad TWH.

Hasil seminar tersebut menyepakati bahwa Letjen Jamin Ginting layak diberi gelar Pahlawan Nasional,

Saturday, May 23, 2015

Guru Patimpus Pendiri Kota Medan

Guru Patimpus Pendiri Kota Medan - Guru Patimpus adalah seorang Karo bermarga Sembiring Pelawi. Guru Patimpus dikenal sebagai pendiri Kota Medan. Berikut adalah sejarah singkat Perjalanan Guru Patimpus yang berasal dari daerah dataran tinggi Karo, hingga akhirnya mendirikan desa yang bernama Medan.
Sumber :asanisembiring.wordpress.com

Guru Patimpus dilahirkan di Aji Jahe salah satu kampung di Taneh Karo Simalem yang sejuk, dingin, nyaman dengan angin pegunungannya. Ia menikah di Batu Karang dengan beru Bangun, mendirikan kampung di Perbaji dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Bagelit. Guru Pa Timpus bertubuh kekar, tinggi, gagah, dan berjiwa patriotik seperti seorang panglima. Ia juga seorang Guru, yang dalam bahasa Karo berarti seorang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan, ilmu obat-obatan, ilmu gaib, dan memiliki kesaktian, namun Ia-nya berjiwa penuh kemanusiaan lemah lembut dalam bertutur kata, mempunyai karakteristik yang simpatik, berwibawa, berjiwa besar dan pemberani.

Dengan menuruni lembah-lembah yang penuh mistis, hutan semak belukar dan binatang buas. Guru Pa Timpus mendaki lembah-lembah yang terjal dan curam, dengan menelusuri aliran Lau Petani menuju ke satu bandar di hilir sungai Deli untuk suatu tujuan yaitu mencoba ilmu kesaktiannya dan belajar pada Datuk Kota Bangun seorang Guru dan Ulama besar yang terkenal pada masa itu. Setelah beberapa lama bermukim ia kawin dengan seorang putri dari pulau Brayan keturunan anak panglima Deli, bermarga Tarigan dan sekitar tahun 1590 M, ia membuka dan mendirikan kampung dipertemuan dua buah sungai Deli dan Babura yang dinamainya dengan ‘Medan’, dari perkawinannya ini lahirlah salah seorang putra yang diberinya nama Hafis Muda, dari sinilah silsilah keturunan Datuk Wajir Urung 12 Kuta (Datuk Hamparan Perak), keturunan terakhir dari Generasi ke-XV adalah Datuk Adil Freddy Haberham, SE sebagai salah seorang Datuk 4 suku dikesultanan Deli.

Guru Pa Timpus telah menjadi milik Masyarakat Kota Medan. Ia berjiwa Nasionalis dibuktikan dengan tidak dicantumkannya Marga Sembiring Pelawi pada Dirinya dan Anak Cucu Keturunannya. Pemko Medan telah memberikan penghargaan terhadap Guru Pa Timpus, yaitu dengan ditetapkannya Hari Jadi Kota Medan pada tanggal 1 Juli 1590 dan kemudian memberikan nama kepada salah satu jalan di petisah dengan nama jalan Guru Pa Timpus.

Apa yang telah dilakukan Guru Pa Timpus adalah merupakan salah satu sejarah bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya, corak dan peninggalan sejarahnya telah memberikan warna khas kepada kebudayaan bangsa, serta hasil pembangunan yang mengandung nilai perjuangan, kepeloporan yang merupakan kebanggaan nasional ini, perlu terus digali dan dilestarikan, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air. Perencanaan Pembangunan disemua tingkatan haruslah diperhatikan pelestariannya, apalagi pelestarian bangunan benda yang mengandung nilai sejarah bertitik tolak dari keagungan Jiwa Guru Pa Timpus.

Adapun sejarah perjalanan singkat Guru Patimpus diatas dikutip dari langsung dari sumber yang layak dipercaya, yaitu Proposal Pembangunan Monumen Guru Patimpus.

Sumber : kompasiana

Sejarah Perkembangan Daerah Kabupaten Karo

Sejarah Perkembangan Daerah Kabupaten Karo

Sejarah Perkembangan Daerah Kabupaten KaroTanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan.

Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga.

Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan.

Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni:

Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat.
Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan. 
Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu” dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana antara lain dapat dibaca…………jabatan Raja-raja Urung dan Pengulu akan diwarisi oleh turunan langsung yang sekarang ada memegang jabatan itu………... 

Marilah kembali melihat sistem pergantian Perbapaan Urung dan Pengulu Kesain, sebelum datangnya penjajahan Belanda ke daerah dataran Tinggi Tanah Karo. Yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. 

Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi. Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah sebagai Perbapaan Raja. 

Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak, misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang seketurunan. 

Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut. 

Seperti diuraikan di depan, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu yang dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”, maka jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun. Dengan  sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika Karo berada dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah Karo

Seiring dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan Belanda identik dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan memberikan tanah secara tak semena-mena  untuk jangka waktu 99 tahun (kemudian konsensi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran dan penderitaan penduduk melahirkan perang sunggal yang berkepanjangan (1872-1895) yang juga dikenal sebagai perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam perang tersebut orang Melayu dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau.

Di satu pihak ada persoalan antara Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena Sultan Deli memberikan konsensi kepada Maskapai Belanda untuk membuka perkebunan dan daerah Sunggal termasuk di dalamnya. Perlawanan rakyat Sunggal dipimpin oleh Datuk Kecil  (Datuk Muhammad Dini), Datuk Abdul Jalil dan Datuk Sulung Barat.Bantuan dari tanah karo dipusatkan di kampung Gajah. Tokoh Karo yang sangat terkenal dalam peperangan ini adalah Langgah Surbakti, berasal dari kampung Susuk Tanah Karo  dan Nabung Surbakti, dikenal sebagai Penghulu Juma Raja. Karena hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan, pihak Belanda mengirim ekspedisi ke Sunggal sampai tiga kali. Akibat peperangan itu, di pihak tentara Belanda banyak jatuh korban. Serdadu berkebangsaan Eropah tewas 28 orang dan serdadu Bumi Putra tewas 3 orang. Yang luka-luka, serdadu Eropah 320 orang dan serdadu Bumi Putra 270  orang. 

Pekabaran injil ke Tanah Karo (1894) tidak terlepas dari kerusuhan-kerusuhan perkebunan tersebut. Pihak perkebunan mengharapkan bahwa gangguan-gangguan orang Karo akan dapat dipadamkan melalui pekabaran injil, jadi yang membiayai misionari (Nederlands Zendilingsgenotschap), ke karo adalah pihak perkebunan, diprakarsai oleh J.TH Gremers, Direktur Perkebunan tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. 

Garamata yang mengadakan perlawanan pada awal abad ini (1901-1905) juga berpendapat bahwa jika Belanda dibiarkan ke Tanah karo maka tanah rakyat mungkin sekali diambil untuk perkebunan. Pikiran ini didasarkan pada pengalaman orang Karo di dataran rendah, di Deli dan Langkat. Selanjutnya dia juga berpendapat bahwa orang Karo mempunyai cara hidupnya sendiri  dan istiadatnya sendiri dan tidak perlu dicampuri oleh orang Belanda (lihat Masri Singarimbun, Garamata: Perjuangan melawan Penjajah Belanda, 1901-1905, Balai Pustaka, Jakarta, 1992). Namun kekuatan Belanda yang begitu besar tidak dapat dibendung. Sebelumnya pembangkangan yang sangat terkenal dilakukan oleh Sibayak Pa Tolong atau Sibayak Kuta Buluh, yang melakukan pembangkangan terhadap pembayaran pajak kepada Belanda